Latar Belakang

Nyanyian Sunyi dari Ujung Timur Indonesia
Papua. Dulu dikenal dengan nama Irian Jaya, wilayah paling timur Indonesia ini menjadi rumah bagi warga ras Melanesia yang sebagian besar memeluk agama Kristen. Seiring banyaknya kaum pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, perbandingan orang asli Papua dan pendatang yang didominasi beragama Islam kini berimbang.

Ironisnya, para pendatang mendominasi kehidupan bisnis, ekonomi, dan lapangan pekerjaan yang tersedia. Sementara  warga setempat kian terusir dan kehilangan tanah leluhur mereka karena dibeli oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengembangkan agrobisnis. Orang asli Papua pun menjadi buruh tani, di tanah yang dulunya mereka miliki dan tempat leluhurnya berhuni selama ribuan tahun.

Kontroversi
Beragam intrik dan kontroversi mewarnai perjalanan sejarah Papua hingga yang kita kenal sekarang. Merupakan bagian dari Kerajaan Hindia-Belanda pada masa penjajahan, Jepang mengambil alih ketika masa Perang Dunia II. Namun usai perang, Belanda kembali merebut Papua, meski gagal mengukuhkan kembali kedudukannya di Nusantara. Hal ini ditekankan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, yang menetapkan Belanda menyerahkan kedaulatan penuh pada Indonesia, kecuali Papua.

Pemerintah Belanda kemudian mempersiapkan Papua merdeka, yang ditentang oleh pemerintah Indonesia. Papua  akhirnya menjadi wilayah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda.

Kekuatan militer tak terelakkan. Pada tahun 1960, militer Indonesia masuk ke Papua  dan berhadapan dengan Belanda untuk merebut Papua. Sementara itu, langkah diplomatik Indonesia berhasil mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Akhirnya, pada tahun 1962 dihelat Perjanjian New York yang disepakati bersama oleh pemerintah Indonesia dan Belanda, dengan dukungan AS. Perjanjian tersebut menghasilkan keputusan Papua dikontrol oleh Indonesia dengan syarat diselenggarakan referendum (pemungutan suara untuk menentukan status daerah), yang kemudian dikenal dengan peristiwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat).

Akhirnya pada tahun 1969, referendum dilakukan. Dengan anggapan orang asli Papua terlalu primitif untuk sebuah pemilihan umum normal—satu suara mewakili satu orang—1.022 orang ditunjuk sebagai perwakilan. Hasilnya, Papua kembali masuk ke dalam bagian Indonesia.

Hasil referendum ini mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa Bangsa, meski banyak yang memandangnya tak sahih karena tidak sesuai hukum demokrasi. Setelah Pepera, rakyat Papua ternyata tetap tak menikmati kedaulatan dan banyak yang merasa kemerdekaan telah dirampas dari tangan mereka.

Namun sebenarnya, sejak sebelum Pepera, berbagai aksi penolakan dan kekerasan telah berlangsung. Organisasi Papua Merdeka (OPM) muncul dan menyuarakan  suara rakyat Papua untuk lepas dari Indonesia. OPM secara terbuka melawan militer Indonesia yang menelan ribuan jiwa. Dengan bermodalkan panah, tombak, dan senjata modern dalam jumlah terbatas, OPM menghadapi militer Indonesia yang telah dipersenjatai lengkap.

Hingga kini, perjuangan masih terus berlangsung, meski tak melulu dengan mengangkat senjata. Teknik gerilya di hutan-hutan berganti dengan cara diplomasi yang menghindari kekerasan dan lebih fokus pada hak asasi manusia. Papua kini dipimpin oleh generasi muda  yang telah mengecap pendidikan tinggi, melek teknologi, dan berusaha menuntut hak politik bagi warganya, termasuk hak menentukan nasib sendiri.

Kehidupan sosial dan ekonomi

Perjuangan memang belum usai. Orang asli Papua kini kian tersingkir oleh kaum pendatang. Dari yang menjadi warga mayoritas pada tahun 1969, gelombang transmigrasi yang berlangsung secara sistematis menggusur warga lokal ke daerah pegunungan dan pedesaan. Wilayah perkotaan kini berganti rupa dengan dominasi wajah pendatang.

Status daerah operasi militer akibat konflik berkelanjutan membawa pasukan TNI ke seluruh wilayah Papua. Ketika Indonesia mengecap derasnya arus kebebasan dan demokrasi sejak jatuhnya era Orde Baru, rakyat Papua bergeming. Mereka tetap hidup di bawah cengkeraman militer.

Sementara itu, pembangunan ekonomi berskala besar berlangsung di seluruh Papua  lewat industri penebangan kayu, perkebunan, pertambangan, dan ekstraksi gas. Meski bersifat masif, pembangunan ekonomi itu hanya menyentuh sedikit kehidupan orang asli Papua. Tak sedikit memang yang bekerja di instansi publik, tetapi jabatan tinggi umumnya dipegang oleh kaum pendatang. Sementara kebanyakan lapangan pekerjaan di sektor swasta yang tersedia berpenghasilan rendah. Aktivitas bisnis dan ekonomi tetap didominasi oleh warga non Papua dan warga asli Papua, sang empunya tanah, hanya mendapat kompensasi kecil.

Masalah kesehatan menjadi pokok lain yang menuntut perhatian. Jumlah penderita HIV-AIDS yang berkisar dua persen (data masih dapat berubah), menjadikan Papua wilayah dengan jumlah penderita tertinggi di Indonesia. Sementara pelayanan kesehatan pun jauh dari harapan karena jumlah dokter dan tenaga medis amat terbatas .

Tak ubahnya dengan dunia pendidikan, yang membutuhkan penanganan serius. Selain jumlah tenaga guru yang terbatas, masalah lokasi maupun dana menghambat kehadiran guru untuk hadir teratur. Semua ini menyebabkan Papua —yang didapuk sebagai wilayah dengan sumber daya alam paling kaya di Nusantara itu—menjadi wilayah dengan tingkat pendidikan, ekonomi, dan kesehatan terburuk di Indonesia.

Tak ayal, seluruh kondisi ini memunculkan ketidakpuasan yang terus memuncak terhadap pemerintahan pusat di Jakarta. Tuntutan untuk lepas dari Indonesia kian kerap terdengar. Namun teriakan ini seolah dianggap angin lalu, tak hanya oleh pemerintah pusat tetapi juga komunitas internasional.

Teriakan mereka boleh tak didengar, namun kehidupan berjalan terus. Serangkaian video ini menampilkan perjuangan hidup warga asli Papua menghadapi situasi tak bersahabat. Hidup tetap bergulir ketika politik hanya menjadi sebuah ajang debat kusir. Inilah sepenggal cerita orang asli Papua mengungkap kehidupan yang sesungguhnya, untuk membantu kita tak hanya mendengar, tetapi juga memahami mereka.