Pemerintah Papua sudah selayaknya bangga, Festival Film Papua (FFP) tanpa jeda dihadirkan setiap tahunnya sejak 2017. Tahun ini, di kota Sorong tepatnya di KEIK LMA Malamoi, FFP ke-III akan diselenggarakan tanggal 06 sampai 09 Agustus. Tema FFP ke-III mengangkat tema “Perempuan Penjaga Tanah Papua”. Acara ini diinisiasi oleh jaringan pembuat video dokumenter lokal, Papuan Voices, yang sejak akhir 2011 berkonsolidasi untuk menggarap isu-isu sosial dan lingkungan yang khas Papua. 

“Perempuan kampung di Papua sungguh menanggung beban berlapis-lapis, karena dia seorang perempuan, karena kondisi keluarga yang miskin,” ujar Agus Kalalu selaku Ketua Panitia, saat dihubungi jubi.co.id, Sabtu (29/6/2019).

Agus menambahkan, masyarakat Papua tumbuh menjadi masyarakat yang plural, baik dari segi etnis, budaya, agama, ekonomi, dan motif politik. Kehadiran perusahaan-perusahaan besar dan serbuan pendatang berbagai etnis, justru semakin menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, orang asli dan migran, sementara nilai-nilai baru yang datang telah menyebabkan culture shock di antara masyarakat secara keseluruhan.

Festival ini berbeda dengan festival film pada umumnya. Jika umumnya hanya ada nonton bersama dan diskusi karya-karya film dokumenter, FFP kali ini akan diselingi dengan kompetisi film dokumenter dan lokakarya yang dibuka untuk umum.

Sementara itu, Wakil Ketua Panitia Max Binur, menjelaskan perlunya mengangkat kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dengan pelaku utama anggota keluarga, anggota masyarakat, maupun aparatur negara, karena kenyataan yang dapat dijumpai setiap saat. Kekerasan yang dialami oleh perempuan ini terjadi baik di ruang domestik maupun publik, oleh keluarga, lingkungan, maupun pemerintah.

“Saat ini isu perempuan Papua banyak mendapat apresiasi dari berbagai elemen masyarakat. Narasi mama-mama Papua dalam pemberdayaan ekonomi, perlindungan keluarga, pendidikan, dan lain sebagainya, telah banyak terekam dalam benak orang Papua yang terus memperjuangkan keadilan,” ujar Max Binur, yang pernah menjabat Koordinator Umum Papuan Voices.

Max menambahkan, penyadaran terus-menerus melalui sosok perempuan adalah rekam jejak perjuangan dalam melawan diskriminasi, khususnya saat mengangkat ketidakadilan, pengabaian, dan belum meratanya pelayanan publik. Film-film yang akan diputar sebagian besar menceritakan Perempuan yang berjuang di semua aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, pendidikan, lingkungan hidup, dan lain-lain, untuk menjaga Tanah Papua, sebagai ibu yang memberikan kehidupan.

Papuan Voices adalah komunitas film yang terbentuk pada Tahun 2011. Berawal dari program pelatihan produksi dokumenter yang dibuat oleh Engage Media yang bekerja sama dengan SKPKC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke dan JPIC MSC di Merauke. Para peserta pelatihan lalu menyatukan diri dalam wadah Komunitas film bernama Papuan Voices.

Papuan Voices mempunyai dua kegiatan utama yakni, penguatan kapasitas generasi muda di dalam memproduksi audio visual untuk melakukan kampanye serta advokasi untuk keadilan dan perdamaian di Tanah Papua. 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.